Harta Karun Keluarga


Harta Karun Keluarga

Oleh : Dwiyanto

Nikmat Tuhan tidak akan pernah habis, keberkahannya selalu melingkupi kita. Tuhan memberikannya secara cuma-Cuma, Dia juga tak pernah pandang bulu. Tak peduli betapa banyaknya dosa dan kesalahan kita, Tuhan selalu mengasihi kita.  Kasih itu diwujudkan dalam bentuk nikmat yang sangat banyak. Tak terhitung jumlahnya. Dari sekian wujud nikmat Tuhan tersebut terseliplah sebuah nikmat yang kadang kita merasa lupa dan tidak bersyukur pada Tuhan atas nikmat tersebut. Satu nikmat itu ialah keluarga, sebuah keluarga yang utuh dan harmonis adalah nikmat, berkah, sekaligus impian bagi tiap-tiap insan di muka bumi ini. Keberadaannya begitu dinanti dan diupayakan sekuat tenaga bagaimana pun caranya. Keberadaannya menjadi sangat penting karena keluarga adalah lembaga pendidikan utama dan pertama seorang manusia yang baru lahir. Keluargalah yang mendidik dan membekali anak-anak dengan nilai-nilai dasar kehidupan. Oleh karena itu, latar belakang keluarga inilah yang mampu menetukan seorang anak manusia menjadi manusia yang baik atau tidak, berguna bagi banyak orang, menjadi warga negara yang baik atau tidak, dan menjadi tokoh teladan atau tokoh yang tidak disukai di masyarakat.
Keluarga yang harmonis dan bahagia dapat diwujudkan. Meskipun ada kalimat yang menyangkal hal itu, keluarga yang harmonis hanya ada di negeri dongeng, hal itu tidak sepantasnya meruntuhkan niat kita untuk mewujudkan keluarga yang harmonis dan bahagia. Kita memang tidak mampu menyangkal kalimat itu seutuhnya. Kita sering sekali menemukan kasus keluarga yang tidak harmonis di lingkungan kita. Karena itu kita harus menyadari bahwa di setiap keluarga pasti ada permasalahan-permasalahan tertentu yang harus diselesaikan. Kerikil-kerikil dalam keluarga pasti ada. Hal itu tidak sepantasnya membuat kita menyerah dan putus asa karena hakikat hidup di dunia ini adalah ujian, tak terkecuali kebahagian itu sendiri karena ia juga merupakan ujian dari Tuhan untuk melihat siapa di antara hamba-Nya yang paling baik amalannya. Kita sepantasnya mencari solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada bukan malah membuatnya menjadi semakin gaduh dan memecah belah persatuan anggota keluarga. Ada satu pepatah yang dapat kita ambil untuk selalu menguatkan semngat kita dalam menghadapi cobaan/masalah keluarga. Pepatah itu berbunyi Hidup itu bukan hanya mencapai kesejahteraan melainkan untuk berjuang. Berjuang, berjuang, dan berjuang. Kerja, kerja, dan kerja. Kerja cerdas, kerja keras, dan kerja ikhlas!
Begitu juga dengan ku, Iyant Saputro, seorang mahasiswa kependidikan di salah satu universitas terkenal di Yogyakarta. Aku berhasil memasuki dunia perkuliahan dikarenakan mendapat beasiswa. Saat pengumuman penerimaannya muncul dan namaku tercantum sebagai salah satu penerimanya, syukur tanpa berkesudahan ku panjatkan dengan lisan dan juga hatiku. Begitu juga dengan kedua wajah orang tuaku yang memancarkan senyum dan tangis sekaligus bangga padaku. Salah satu anak mereka mampu menembus dunia perkuliahan dan sampai sekarang dapat menempuhnya dengan baik. Bahagia sekali rasanya keluarga kami saat itu. Penuh rasa syukur dan air mata. Jujur saja keadaan keluarga kami memang kekurangan, gaji bapakku hanyalah berkisar lima ratus ribuan perbulan, Ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga  biasa yang pekerjaannya setiap hari mengurusi rumah tangga dan mencari pakan untuk seekor sapi warisan nenek kami yang meninggal sekitar dua tahun yang lalu dan seekor kambing gaduhan milik nenek dari Ibuku. Kedua ternak itu adalah harta kami. Tempat kami menabung. Walaupun tak seberapa jumlahnya, bahkan bukan apa-apa, setidaknya kami mempunyai tempat untuk menimbang dan menaruh asa. Gaduhan adalah sistem merawat kambing atau ternak yang lain oleh penggaduh (bukan pemilik ternak yang asli) untuk dirawatnya sampai dengan perjanjian yang disepakati antara pemilik dan penggaduh ternak tersebut dengan mendapatkan keuntungan tertentu sesuai dengan kesepakatan. Dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan yang seperti itu, Bapak harus menanggung tiga orang anaknya yang sedang sekolah. Adik lelakiku sedang menempuh pendidikan kelas terakhirnya di salah satu sekolah menengah kejuruan terbaik di propinsi kami sedangkan adik perempuanku sedang menempuh pendidikan kelas pertamanya di salah satu sekolah dasar negeri di perbatasan kecamatan kami dengan jarak sekitar 1200 km dari rumah kami. Melihat hal itu bisa dibayangkan betapa beratnya membiayai pendidikan tiga anak keakungannya tersebut bila aku yang notabene sudah beranjak menempuh pendidikan tinggi tidak memperoleh beasiswa sebagai penopang utama sumber dana untuk membayar kebutuhan perkuliahan. Pasti berat sekali. Membayangkannya saja ku tak kuasa apalagi hal itu bila terjadi secara nyata dalam kehidupanku, dapat dipastikan bahwa aku akan mengubur dalam-dalam mimpiku mengarungi samudera pendidikan tinggi.
Meskipun begitu, Bapak dan Ibu tidak pernah mengajarkanku untuk tidak memiliki mimpi. Bagi keluargaku mimpi adalah harta karun utama kami. Bapak tidak pernah menganggap bahwa lemahnya ekonomi kita menjadi penghalang kita untuk mempunyai cita-cita yang tinggi. Bapak selalu berpesan bahwa keadaan sekarang ini bukanlah keadaan ideal sehingga perlu diperbaiki di masa depan. Ibuku selalu mengajarkan bahwa mimpi yang tinggi adalah  modal dasar untuk mencapai kesuksesan dunia maupun akhirat. Ketika aku dan adik-adikku merasa pesimis dengan mimpi kami, Ibu selalu menimpali; Loh kenapa kita harus takut bermimpi?
Apakah kalian takut kalau mimpi kalian gagal?
Setelah itu Ibu akan berpidato panjang lebar mengenai mimpi dan cita-cita sekadar untuk menguatkan kami baik hati maupun fisik kami. Ibu menambahkan bahwa setiap orang bebas bermimpi dan menaruh cita-cita yang tinggi. Mimpi itu gratis kok, begitulah kata Ibu. Ya setiap mimpi itu gratis, kita tidak perlu membayar untuk memilikinya, namun Ibu selalu berpesan bahwa mimpi dan cita-cita yang tinggi itu mempunyai harga yang mahal, tidak gratis, dan perlu usaha yang gigih untuk mewujudkannya. Ada satu kunci untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu dalam waktu singkat, tambah Bapak. Keduanya lalu tersenyum memberikan sebuah teka-teki.
Apa itu Pak?, timpalku bersama dengan kedua adikku.
Apakah Bapak punya kunci ajaib atau Ibu punya mesin ajaib untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita?
Bapak dan Ibu tertawa terbahak-bahak sambil berujar ada-ada saja putra dan putri mereka dengan penuh gelak tawa. Ibu lalu secara perlahan menjelaskan bahwa kunci itu ialah sikap pantang menyerah dalam menghadapi ujian, cobaan, dan tantangan dalam kita menggapai cita-cita. Semakin kita gigih dan pantang menyerah dalam mewujudkan cita-cita tersebut maka waktu yang kita gunakan untuk mencapai mimpi tersebut semakin singkat. Bapak menjelaskan bahwa ketika kita sudah menghadapi banyak tantangan, cobaan, dan hambatan hal itu berarti bahwa kita semakin dekat dengan kesuksesan. Tinggal sebentar lagi, tambah Bapak sebagai penegasan ucapannya pada kami. Selepas mendapatkan vitamin dan suplemen semangat dari kedua malaikat kami itu, aku dan adik-adikku kembali belajar di kamar kami masing-masing sambil merenungi cita-cita kami masing-masing. Aku tak pernah tau apa mimpi kedua adikku. Kami memang saling merahasiakan mimpi-mimpi kami untuk memberikan kejutan berupa berita bahagia saat kami dapat mencapai mimpi kami. Sebagai contohnya saat aku berhasil lolos seleksi masuk perguruan tinggi tanpa tes, langsung kukabarkan berita bahagia tersebut pada seluruh anggota keluarga, tak terkecuali kedua adikku yang lucu itu pada saat kumpul malam selepas sholat Isya. Mereka pun sontak terkejut dan bahagia sekaligus memberikan ucapan selamat kepadaku. Adikku yang sedang belajar di SMK pun mengingatkanku untuk belajar dengan giat, sungguh-sungguh, dan fokus dalam mencapai prestasi walaupun aku tidak perlu memikirkan bagaimana cara membayar uang perkualiahan karena aku mendapat bantuan beasiswa. Ibuku menambahkan bahwa aku tidak boleh mengecewakan negara yang telah memberikan bantuan biaya pendidikanku itu, melainkan aku harus lebih semangat lagi dalam berprestasi. Sejak saat itu mulailah ku renungi mimpi selanjutnya yang akan ku wujudkan. Satu persatu mimpiku mulai kutulis dalam secarik kertas. Awalnya aku ragu tapi aku tetap menuliskannya secara urut tanpa pandang apakah mimpi itu besar atau kecil. Semua mimpi dan keinginanku kutuliskan di dalamnya. Sambil menulis, kupermantap cita-cita dan keinginanku tersebut.
Aku pernah berpikir tentang kehidupan sebuah negeri di luar negeri kita sendiri, Indonesia. Bukan lantaran aku tidak bersyukur bisa dilahirkan di negeri yang aman dan damai seperti ini, bukan juga karena aku telah bosan tinggal di negeri permai ini. Banyak hal yang ingin kuketahui. Banyak hal telah membuatku penasaran akan kehidupan di luar sana. Bagaimana cara mereka bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana kebudayaan mereka, apakah mereka kaya akan sumber daya alam, dan apakah mereka mempunyai masalah-masalah dalam dunia pendidikan seperti apa yang setiap hari dibahas dalam dunia perkuliahanku. Bagaimana sistem pendidikan di sana, apakah semua minat dan bakat peserta didik sudah diwadahi dan ditampung atau belum. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba dalam benakku.. Aku begitu penasaran dengan itu semua. Bahkan ketika aku membaca beberapa artikel atau novel yang menyinggung kehidupan luar negeri, aku langsung tertarik dan membayangkan kehidupan di luar sana. Alangkah senangnya dalam benakku. Alangkah bahagianya bila diriku bisa menginjakkan kaki di luar negeri. Alangkah bahagianya bisa mengenal orang-orang di sana. Alangkah senangnya bila aku dapat mempelajari kebudayaan luhur mereka. Sejuta keinginan dan kebahagian itu selalu kupeluk saat menjelang tidur. Bak sebuah selimut, mimpi-mimpi itu selalu ku kenakan setiap kali tidur. Pada awalnya aku merasa bahwa mimpiku itu hanyalah mimpi sebagai penyegar pikiran saja selepas penat berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan. Kupikir mimpi itu hanyalah buah angan saja, namun itu semua berubah seratus delapan puluh derajat semenjak kuceritakan mimpi itu pada kedua orang tuaku.
Masya Allah, Nak. Mimpimu itu patut diwujudkan jangan kau diamkan saja! Cari jalan untuk mencapainya, sambut Bapakku. Ibuku pun bersikap demikian, Beliau menunjukkan sikap antusias yang tinggi dalam menyimak cerita mimpi itu. Suplemen dan vitamin semangat sekaligus dorongan yang begitu kuat untuk  mewujudkan mimpi kembali mereka tiupkan dengan kencang menuju hati sanubariku yang paling dalam. Di akhir perbincangan kami, ada satu pesan Ibuku yang amat menggetarkan jiwa dan hatiku. Secara perlahan Ibu membisikkan kalimat itu. Pelan tapi pasti.
Nak bolehlah kita miskin harta atau kekayaan duniawi, tapi kita tidak boleh miskin mimpi dan pengalaman. Mimpi akan menuntunmu untuk mempunyai banyak pengalaman. Lakukanlah, kejarlah, dan raihlah mimpi itu. Jangan  kau berhenti dan tidak berbuat apa-apa. Bila masanya tiba nanti kau akan memetik dari apa yang telah engkau tanam, sekecil apapun itu kamu akan menuainya. Saat kau menebar mimpi dan membangunnya, maka bukan tidak mungkin kamu akan sukses, pesan Ibu.
Begitu hebat getaran hatiku saat itu. Ku tak pernah menyangka Ibu akan memberikan nasehat seperti itu. Mulai ku renungi pesan Ibuku secara mendalam. Kata demi kata mulai kurenungi, ku masukkan dalam hati. Meskipun kelurga kami termasuk keluarga miskin, namun kami tidak boleh miskin cita-cita, ilmu, dan pengalaman. Ku haruslah yakin bahwa mimpi itu bisa terwujud. Dua kalimat yang menjadi peganganku, kalimat penggugah semangat, dan kalimat pendorong, dimana ada keinginan, pasti ada jalan dan dimana kita bergerak pasti menemukan arah. Hal itu berarti bahwa saat kita mempunyai mimpi ketika kita telaah mimpi itu kita pasti akan menemukan jalan untuk mencapainya dan saat kita bergerak kita juga akan menemukan arah dan masalah. Masalah itu bukanlah sesuatu yang menghalangi kita dari kesuksesan melainkan ia adalah batu loncatan sehingga kita akan mampu menjadi sosok yang solutif, tangguh, dan berpengalaman. Masalah itu akan membimbing kita menuju mimpi-mimpi kita.
Sejak itu mulai ku bergerak maju. Ku cari berbagai informasi program yang dapat mengantarkan ku belajar ke luar negeri. Informasi-informasi itu kuhimpun dari berbagai media. Melalui media elektronik adalah yang paling dominan. Ada banyak memang, namun beberapa program mempunyai beberapa syarat yang belum kupenuhi. Aku belum lulus pendidikan S1, aku belum pernah test TOEFL, dan aku belum mempunyai paspor. Mulai ku cari lagi info-info program sejenis. Ku cermati satu persatu ketentuan programnya hingga ku menemukan sebuah program International Youth Summit yang berani membiayai pesertanya secara penuh untuk belajar jangka pendek di negeri jiran, Malaysia dan negeri singa,  Singapura. Selain itu,p rogram itu tidak mempersyaratkan pesertanya untuk lulus S1, skor tertentu dalam test TOEFL, dan tidak mengharuskan pesertanya mempunyai paspor, bahkan panitia menjanjikan akan membuatkan paspor untuk peserta yang lolos seleksi. Ya, tahapan yang harus dijalani peserta adalah membuat essay dan melakukan wawancara dalam bahasa Inggris. Ku mulai memantapkan niat dan usaha untuk mengikuti program itu.
Kumulai usahaku dengan cara mencari beberapa contoh essay dan berbagai artikel tentang ketentuan dalam membuatnya. Melalui contoh-contoh karya essai itu aku memberanikan diri untuk membuatnya dengan berpedoman pada beberapa ketentuan pembuatan essay yang kudapatkan dari berbagai sumber itu. Secara perlahan dan hati-hati serta konsekuen aku mulai membuatnya. Ku tuangkan ide yang ada di kepalaku dengan kata-kata yang mudah dipahami dalam bahasa Inggris. Mudah kupahami dan mudah dipahami orang lain itulah harapanku. Setelah itu mulai kuhubungi beberapa senior di SMA-ku yang kukenal pandai, cakap, dan terampil dalam membuat essay berbahasa Inggris, selain punya pegalaman pernah belajar di luar negeri. Melaluinya ku minta bantuan untuk memberikan koreksi pada karya essay berbahasa Inggrisku yang pertama itu. Selang beberapa hari hasil koreksi dari seniorku itu kuterima dan lekas kuperbaiki essay amatiranku tersebut. Hal-hal yang tidak kumengertipun ku tanyakan padanya dengan harapan dapat menambah kesiapanku dalam menghadapi seleksi wawancara jika aku berhasil lolos pada seleksi yang pertama yaitu seleksi essay dan administrasi ini. Besar sekali harapanku untuk lolos dalam seleksi tahap pertama itu karena tahapan itu adalah gerbang pertama yang harus kulalui untuk bisa memenangkan hadiah pergi ke luar negeri itu. Setelah kurasa cukup baik dan sudah kuusahakan secara maksimal, akhirnya essayku itu kukirim pada panitia International Youth Summit melalui wesite mereka. Setiap hari tak henti-hentinya kudoakan essayku itu saat sholat malam dengan harapan agar bisa lolos 100 terbaik. Aku secara sengaja tidak pernah memberitahukan kompetisi yang tengah kujalani ini pada kedua orang tuaku. Kuhanya meminta mereka untuk ikut mendoakanku semoga bisa lolos dalam setiap perlombaan yang kuikuti serta kesuksesan menyertaiku. Saat mereka bertanya sukses atau berhasil dalam kejuaran apa, aku selalu menjawab dalam kompetisi apapun untuk menjawab rasa penasaran mereka. Kurencanakan hal itu, bila kuberhasil In Shaa Allah bisa menjadi hadiah terbaik pertamaku pada mereka setelah ku memasuki dunia perkuliahan.
Hari yang dinantikan pun telah tiba masanya. Hari itu adalah hari dimana pengumuman 100 essay terbaik dalam kompetisi itu dikeluarkan. Harap-harap cemaslah yang kurasakan. Sudah seminggu belakangan ini aku merasa tidak enak badan. Badan terasa pegal-pegal, batuk setiap saat, dan sempat demam selama dua hari berturut-turut. Rasa-rasanya pengumuman itu bisa menjadi obat yang akan mebantu kesembuhanku atau racun yang akan memperburuk keadaanku. Dengan penuh harap bahwa Tuhan akan menjawab doa dalam setiap sholat malamku, secara perlahan dalam keadaan hati yang berdebar-debar mulai kuberanikan membuka pengumuman di website itu. Ku baca pengumuman itu dengan seksama, peserta yang lolos ku baca satu persatu namanya. Kumulai cemas saat hitungan angkanya sudah menapaki angka lima puluhan namun namaku belum juga dimunculkan. Astagfirullah, segala rasa kesal dan kecewa mulai muncul dalam hatiku namun tetap ku tahan untuk bisa membaca deretan angka dan namnya itu sampai dengan angka seratus. Alhamdulillah senyuman mulai hinggap di wajahku saat hitungan angkanya mencapai angka delapan puluh tiga, ya namaku ada di situ. Syukur seketika kupanjatkan pada Tuhan sekalian alam. Tak kusangka usaha yang selalu kusemogakan itu dijawab oleh Tuhan. Alhamdulillah.
Seleksi berikutnya sekaligus seleksi tahap akhir adalah seleksi wawancara. Kuhubungi kembali senior SMA-ku itu, ku cerca ia dengan banyak pertanyaan tentang wawancara sejenis yang pernah ia lalui. Berbagai tips dan trik pun kudapatkan secara cuma-cuma darinya. Hal-hal yang perlu dihindari saat wawancara pun ku ingat betul dalam memori dan mulai ku jauhi terutama kebiasaan gemetar saat ditanya dalam bahasa Inggris, terlalu lama dalam menjawab atau memberi respon, dan pandangan mata ke atas atau tidak menatap pewawancara saat wawancara berlangsung. Tentunya hal itu tidak bisa kita pelajari seketika, maka dari itu ku coba melakukan wawancara melalui aplikasi WA (WhatsApp) dengan kakak seniorku itu. Sedikit canggung memang namun hal itu membuatku nyaman dan cukup membantu menuruku karena aku selalu meningat nasehat guru SD-ku bahwa latihan itu membuat kita semakin siap dalam mengahadapi apapun, practice makes perfect, does not it?
Jadwal wawancaraku pun telah sampai pada tanggal yang ditentukan. Ku siapkan diri ini untuk mendapatkan cercaan pertanyaan pewawancara dari panitia International Youth Summit melalui WA. Wawancara itu dilaksanakan pada pukul 17.00 sampai dengan 17.15 WIB. Kulalui wawancara itu dengan cukup tenang dan cukup percaya diri. Senyuman terbaikku selalu kuberikan pada pewawancara. Anggapan bahwa pewawancaranya super galak dan tidak ramah pnu  terbantah sudah melalui waktu lima belas menit itu. Pewawancaranya begitu ramah, murah senyum, dan rendah hati. Ia selalu berupaya mengerti apa yang kita sampaikan meskipun kadang apa yang kita sampaikan terlalu susah untuk dimengeti. Aku berusaha menyampaikan maksudku sedetail mungkin dan juga berupaya untuk tidak demam panggung saat berbincang dengannya. Bagiku, diriku cukup sukses dalam melalui tahap ini. Doa syukur dan harap yang tanpa kesudahan pun mulai ku lantunkan lagi. Satu bulan adalah waktu untuk menunggu kepastian program itu. Orang tuaku kembali ku mintai bantuan doa seperti sebelumnya. Dengan senyum yang indah mereka membalas permintaan ku itu. Isyarat yang sudah pasti ku mengerti bahwa mereka akan dengan senang hati melakukannya.
Setelah tiada jemu ku menunggu waktu pengumuman peserta yang akan dibiayai secara penuh dan ada yang dibiayai sebagian, akhirnya pengumuman itu dikeluarkan bertepatan dengan hari ulang tahun Ibuku dan Alhamdulilah namaku dinyatakan sebagai peserta pertama yang dibiayai secara penuh untuk menempuh pendidikan singkat di kedua negara tetangga kita tersebut. Yes mimpiku menjadi kenyataan. Satu lagi mimpi keluarga ku dapat terwujud. Hal itu juga menjadi salah satu hadiah terbaik bagi kedua orang tuaku, apalagi bertepatan dengan hari ulang tahun Ibuku. Syukur pun kami haturkan pada Tuhan, satu persatu mimpi keluarga kami menjadi kenyataan. Kebahagiaan waktu kumpul kami malam itu pun bertambah dengan kabar bahwa adikku akan mendapatkan beasiswa penuh dalam menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas terbaik di kota Bandung. Syukur pun kembali kami panjatkan. Kejutan-kejutan dalam malam itu pun masing-masing kami ceritakan, juga tentang mimpi-mimpi kami yang akan kami wujdukan selanjutnya. Bahagianya kami saat itu tanpa bisa kami lukiskan. Secara pribadi, bagiku harta karun keluargaku bukan terletak pada rumah, tanah, atau hewan peliharaan kami, melainkan ia ialah waktu berkumpul bersama keluarga sambil membicarakan mimpi atau cita-cita masing-masing yang akan diwujudkan dengan komitmen yang kuat. Ya mimpi itu adalah harta karun kami yang belum pernah kami wujudkan. Kami selalu beranggapan bahwa mimpi itu adalah harta yang belum kami tukar dengan bentuk nyata yang dapat dilihat oleh mata atau dirasakan oleh hati namun keberadaannya tetap membuat kami semangat dan tergugah dalam menjalani hidup yang sangat singkat ini. Kami tidak tahu bentuk akhir dari mimpi dan cita-cita kami itu tapi kami yakin kami dapat mewujudkannya selagi kami selalu berusaha mencari jalannya. Bagi kami waktu berkumpul bersama keluarga adalah sesuatu yang mahal tanpa perumpamaan karena di dalamnya kami akan membicarakan puluhan bahkan ratusan mimpi-mimpi keluarga kami yang notabene merupakan harta karun keluarga kami. Tidak ada yang bisa mengganti atau membelinya, semahal apapun itu. Sangat mahal!

BIODATA PENULIS
Nama saya adalah Dwiyanto TTL : Kulon Progo, 31 Maret 1997. Saya tinggal di rumah sederhana milik Pak Basuki, ayah saya, yang beralamatkan RT 36/18 Banyunganti Lor, Kaliagung, Sentolo, Kulon Progo 55664. Sekarang saya belajar di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Saya dapat dihubungi melalui surel : dwieyanto0@gmail.com atau WA (0857 9193 5318).



Harta Karun Keluarga Harta Karun Keluarga Reviewed by HIMA PGSD KAMPUS WATES on Minggu, Januari 13, 2019 Rating: 5

Tidak ada komentar



Image Link [https://2.bp.blogspot.com/-70DYF-Z-kJQ/Wlc9sn-yudI/AAAAAAAABJE/owmQBtX5Oq4YogpY1VQxwBwFPgv6sQnsQCLcBGAs/s1600/HIMA.png]

Author Name [HIMA PGSD UNY Kampus Wates]

Author Description [Organisasi yang memfasiitasi mahasiswa PGSD UNY Kampus Wates untuk mengembangkan softskill maupun hardskill-nya]



Facebook Username [#]

Twitter Username [pgsdwates]

GPlus Username [#]

Pinterest Username [#]

Instagram Username [pgsdwates]